Jumat, 24 April 2020

Hubungan Antarbudaya Lokal di Indonesia

Guru Madrasah
Bangsa Indonesia merupakan kesatuan dari bangsa yang majemuk, artinya bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dengan berbagai kebudayaan. Menurut hasil penelitian Van Vollenhoven, aneka ragam suku bangsa yang bermukim di wilayah Indonesia diklasifikasikan berdasarkan sistem lingkaran-lingkaran hukum adat yang meliputi 19 daerah 1. Aceh, 2. Gayo - Alas dan Batak, Nias, dan Batu, 3. Minangkabau dan Mentawai, 4. Sumatra Selatan dan Enggano, 5. Melayu, 6. Bangka dan Belitung, 7. Kalimantan, 8. Sangir Talaud, 9. Gorontalo, 10. Sulawesi Selatan, 11. Toraja, 12. Ternate, 13. Ambon-Maluku dan Kepulauan Barat Daya, 14. Irian, 15. Timor, 16. Bali dan Lombok,
17. Jawa Tengah dan Jawa Timur, 18. Surakarta dan Jogjakarta, 19. Jawa Barat.

Masing-masing kelompok yang terangkum dalam lingkaran hukum adat tersebut menurut Van Vollenhoven memiliki pola kebudayaan yang khas. Dengan demikian ada beberapa suku  bangsa yang memiliki kesamaan kebudayaan, sehingga dianggap menjadi satu kelompok, meskipun secara geografis mereka terpisah. Misal: dalam klasifikasi tersebut kebudayaan Gayo-Alas, Batak, Nias, dan Batu dianggap sebagai satu kelompok yang sama. Demikian pula Ambon, Maluku, dan Kepulauan Barat Daya dianggap satu kelompok. Pengelompokan beberapa suku bangsa yang dianggap memiliki pola kebudayaan yang sama tersebut, menunjukkan adanya interaksi sosial yang sangat erat antara kelompok masyarakat yang berbeda suku bangsa dalam jangka waktu yang sangat lama secara terus menerus, sehingga membentuk karakter pola kebudayaan yang sama.

Adanya pengelompokan suku bangsa tersebut menunjukkan bahwa antara suku bangsa yang satu dan lainnya telah terjalin hubungan sosial yang erat, sehingga terjadi proses asimilasi yang menghilangkan perbedaan unsur-unsur kebudayaan yang ada.

Hubungan antara suku bangsa yang tercermin dalam bentuk hubungan kebudayaan lokal dapat kita temukan dalam bentuk unsur-unsur kebudayaan berikut ini.

1. Bahasa
Hubungan antara kebudayaan lokal, tercermin dalam bentuk persebaran bahasa daerah, sebagai bentuk persebaran unsur kebudayaan lokal. Hal itu sebagai dampak interaksi sosial antara kelompok masyarakat yang berbeda kebudayaan. Misal: penduduk suku bangsa Jawa yang tinggal berbatasan dengan wilayah suku bangsa Sunda (Jawa Barat) antara lain Cilacap dan Brebes, memiliki ragam bahasa yang merupakan perpaduan antara bahasa Jawa dan Sunda. Demikian halnya penduduk suku bangsa Jawa yang berbatasan dengan wilayah Madura, memiliki ragam bahasa yang menunjukkan perpaduan antara bahasa Jawa dan Madura. Perpaduan bahasa tersebut tercermin dalam bentuk logat atau dialek. Dialek bahasa Jawa penduduk Brebes berbeda dengan dialek bahasa Jawa penduduk Semarang, berbeda dengan penduduk Solo, dan berbeda pula dengan penduduk Surabaya, meskipun mereka sama-sama menggunakan bahasa Jawa.

Di era kehidupan sekarang ini, khususnya di kalangan remaja, pemakaian dialek bahasa Betawi seperti gue (saya), lu (kamu), udah (sudah), bantuin dong (tolong dibantu), dan sebagainya menyebar hampir ke seluruh wilayah di Indonesia, khususnya di lingkungan remaja perkotaan. Hal ini berkaitan erat dengan proses urbanisasi yang menjadikan ibukota sebagai tujuan utama kaum urban.

2. Sistem Kesenian
Hubungan yang terjalin antarkebudayaan lokal dapat terlihat pada unsur kesenian. Jalinan interaksi sosial antarsuku bangsa, biasa terjadi melalui kegiatan ekspansi, migrasi maupun perdagangan. Misal: perkembangan seni pertunjukan wayang, tidak hanya terbatas di lingkungan masyarakat Jawa saja, melainkan dapat dijumpai pada masyarakat Sunda dan Bali meskipun berbeda jenisnya.

Demikian halnya dengan tari topeng. Perkembangan tari topeng dapat dijumpai dalam kebudayaan masyarakat Betawi, Sunda, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.
3. Sistem Teknologi
Meningkatnya peradaban suatu suku bangsa sekaligus menandai proses perubahan kebudayaan lokal. Pola kehidupan masyarakat yang dinilai lebih maju berpengaruh terhadap pola kehidupan masyarakat yang tingkat peradabannya masih sederhana. Melalui proses migrasi maupun interaksi perdagangan, telah terjadi saling memengaruhi terhadap kebudayaan lokal. Misal: kehidupan suku terasing yang hidup di pedalaman akhirnya akan mampu menyesuaikan dengan pola kehidupan masyarakat luar yang lebih modern, setelah mereka membuka diri menjalin interaksi sosial dengan masyarakat luar. Di bidang teknologi, penyesuaian tersebut dapat berupa: alat rumah tangga dan pakaian.